Molornya Penetapan Tarif Angkutan, Kondisi Penyeberangan Kritis DanTerancam Berhenti Operasi

461

SURABAYA,  BERKASNEWS. COM-Molornya penetapan tarif  Angkutan Penyeberangan hingga kini ditengarai karena  kurangnya kordinasi antara  Kementerian  perhubungan dengan Menteri kordinator (menko)  Maritim dan Investasi (marves) . Sehingga ada kecenderungan saling lempar tanggung jawab, padahal  soal tarif ini bukan hal baru namun sudah dibahas selama 1,5 tahun lebih.

” Molornya penetapan tarif penyeberangan menunjukkan Menhub dan Menko Marves tidak profesional dan konsisten dalam menjalankan regulasi dan undang-undang” kata Bambang Haryo Soekartono Anggota DPR RI periode 2014-2019. Jumat  24/1/2020

Kelambatan penetapan tarif ini kata Bambang, Kemenhub sendiri sudah mengundur-undur evaluasi tarif penyeberangan hingga 1,5 tahun , ”  sehingga 3 tahun ini tidak pernah disesuaikan. Kemudian Sekarang kembali terganjal di Menko Marves dengan alasan belum ada data untuk dikaji. Padahal, pelimpahan kajian di Kemenko Marves sudah berlangsung lebih dari 3 bulan,” kata Bambang

Bambang Haryo , mengaku sudah bertemu langsung dengan pejabat di Kemenko Marves yang ditugaskan Menko Luhut mengevaluasi tarif.

“Pajabat yang merupakan Staf Ahli Menko Marves itu mengaku tidak mengerti maritim dan baru pertama kali membahas soal penyeberangan. Dia bilang masih menunggu data sehingga belum bisa mengkaji usulan tarif dari Kemenhub,” lanjut Bambang yang juga Dewan Penasihat Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap).

Masih menurut Bambang Haryo, Menko Marves tidak percaya dengan usulan tarif dari Menhub sehingga perlu dikaji lagi secara detil, meskipun Kemenhub sudah membahasnya bersama Gapasdap selama 1,5 tahun.

“ Kemenhub bilang sudah serahkan semua data mulai dari awal tapi Kemenko Marves mengaku tidak punya data. Dua instansi ini kelihatan tidak kompak, tidak profesional,” tandasnya

Ia menyampaikan,  bahwa keterlibatan Menko Marves dalam evaluasi tarif penyeberangan baru pertama kali, sebab  Inpres No. 7/2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha saat itu baru ditetapkan

“Inpres yang harusnya untuk kemudahan usaha, kenyataannya mempersulit usaha dan perizinan. Kalau mengurusi satu sektor ini saja tidak beres, bagaimana mungkin pemerintah menjalankan Omnibus Law yang melibatkan ribuan regulasi sesuai kebijakan Presiden Jokowi,” imbuhnya

Mengenai pengakuan Staf Ahli Menko Marves yang menyebut belum punya data angkutan penyeberangan, Bambang Haryo menilai hanya mencari alasan. Karena menurut Kemenhub sudah menyerahkan semua data terkait angkutan penyeberangan, Menko Marves bisa dengan mudah meminta data dari PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).

Dia mengatakan, PT ASDP yang merupakan kaki tangan pemerintah di sektor penyeberangan memiliki semua data yang diperlukan Menko Marves, seperti pendapatan dan biaya.

“ASDP tahu persis pendapatan perusahaan penyeberangan karena dia yang menjual tiket, ASDP juga tahu persis biaya operasional kapal karena dia operator kapal dan memungut biaya kepelabuhanan,” jelasnya.

Untuk itu kata Bos Kapal ini,  Apabila Menko Luhut dan stafnya profesional dan mengerti dan memprioritaskan maritim, seharusnya Menko Marves mengingatkan Menhub agar segera membereskan evaluasi tarif karena kondisi penyeberangan sudah kritis dan terancam berhenti operasi dalam waktu dekat.

” Menko Luhut semestinya mempercepat penetapan tarif sesuai kebutuhan angkutan penyeberangan, dan bahkan harus menolak usulan Menhub untuk mencicil kenaikan tarif 38% dibagi tiga tahap selama 3 tahun karena menyangkut jaminan keselamatan dan kenyamanan transportasi,” harapnya

Berdasarkan hitungan Bambang Haryo, kenaikan tarif penyeberangan sekaligus sebenarnya dampaknya tidak terlalu signifikan terhadap nilai komoditas barang yang diangkut kendaraan, yakni sekitar 0,15%. Artinya, komoditas misalnya beras seharga Rp10.000 per kg kenaikannya berkisar  Rp15 per kg apabila tarif dinaikkan sekaligus 38 persen.

“Kenaikan harga itu mungkin relatif kecil, tetapi sangat besar artinya bagi kelangsungan usaha penyeberangan serta menjamin keselamatan nyawa dan barang publik. Ketidakpastian tarif mengancam keselamatan publik, berarti pemerintah melanggar UUD 1945 yang mengamanatkan negara untuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia,” tegasnya.

Menurutnya, penyesuaian tarif penyeberangan ini untuk membuktikan apakah Menhub dan Menko Marves bisa menjalankan visi dan misi Presiden Joko Widodo untuk memajukan sektor maritim. Ia pun membandingkan kedua kementerian tersebut begitu cepat menanggapi tarif ojek online, tetapi tarif kapal feri yang merupakan industri maritim malah diundur-undur, padahal, resikonya jauh lebih besar untuk menjamin keselamatan nyawa publik. “Mana prioritas maritim yang menjadi jargon Pak Jokowi menjadi perhatian kedua kementerian tadi.  Dan apabila penyeberangan sampai terhenti, Presiden Jokowi pasti akan disalahkan rakyat karena logistik antar pulau seluruh Indonesia akan macet total dan ekonomi terganggu”, urainya. (an)

Facebook Comments