SURABAYA, BERKASNEWS– Lima Asosiasi kepelabuhanan keberatan bahkan menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan ketiga atas UU No 17 tahun 2008 tentang pelayaran untuk menghapus pasal 110 ayat 1 dan 5 pasalnya hal ini akan membuka peluang kepada Otoritas Pelabuhan untuk sewenang-wenang dan secara sepihak menetapkan tarif. Lima Asosiasi bidang logistik ini adalah Gabungan Perusahaan ekspor Indonesia (GPEI), Gabungan Importir nasional seluruh Indonesia (GINSI), Indonesian National Shipowners association (INSA), Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI), dan Asosiasi Logistik dan forwarder Indonesia (ALFI).
Penolakan ini dengan berkirim surat bersama ke Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dengan dibumbuhi stempel dan tanda tangan ketua Umum DPP kelima asosiasi tersebut yang tertanggal 5 Agustus kemarin. Penolakan secara masif dilakukan di daerah – daerah tak terkecuali Jawa timur yang juga menyuarakan penolakan RUU tersebut bahkan penolakan ini didukung oleh kamar dagang dan industri (KADIN) Jatim.
Ketua Kadin Jatim Adik Dwi Putranto menyampaikan bahwa sebetulnya peraturan yang kemarin sudah benar apalagi zaman sekarang kolaborasi, sinergi itu harus dikedepankan di Undang-Undang disebutkan kalau mau menaikan tarif harus melibatkan asosiasi-asosiasi yang terkait dengan kepelabuhanan, ” la sekarang ada RUU yang malah akan penghapus kolaborasi itu sehingga pemerintah dalam hal ini Pelindo bisa menentukan tarif sak karepe dewe” kata Adik sapaan akrabnya, Jumat ( 23/8)2024) di kantor Kadin Jatim.
Lanjut Adik, untuk menaikan tarif ukuran nya apa? ini yang belum jelas, ya kalau kenaikan UMR kan jelas karena kebutuhan hidup, ” makanya ini yang perlu kami sikapi sebelum menjadi UU, kita bersurat pada Pemerintah kepada Presiden dan tembusanya pada menteri-menteri apalagi pak Jokowi kan dulunya ekspor kayu sehingga paham betul dan sangat sensitifitas terkait persoalan-persoalan yang dihadapi para pengusaha di pelabuhan” urainya.
Steven Henry Lesawengan ketua forum asosiasi kepelabuhan jawa timur sekaligus ketua DPC Insa Surabaya mengutarakan bahwa sebenarnya gerakan masif ini sudah bergerak kurang lebih 10 tahun terakhir saat UU 17 tahun 2008 tentang pelayaran ini disahkan sebenarnya perubahan subsantif ada di Pelindo dimana dulu Pelindo sebagai operator sekaligus regulator, ” setelah UU tersebut disahkan Pelindo menjadi operator tapi bukan operator biasa tapi dari hulu hilir disikat semua” ujar Steven
Lanjut Stenven, bahwa UU 17 tentang pelayaran tahun 2008 pasal 110 dan teknisnya di PM perhubungan no 121 tahun 2018 dimana untuk penentuan tarif sebelum disahkan oleh pemerintah harus ada persetujuan dari asosiasi terkait yaitu Alfi, Insa, GPEI, APBMI dan GINSI, ” gerakan masif ini akan menghilangkan peran dan keterlibatan para asosiasi, kalau pasal tersebut dihilangkan maka BUP Pelindo atau BUP swasta lainya akan memainkan tarif sendiri-sendiri tanpa ada kesepakatan dari asosiasi ” tandasnya
Untuk itu Steven berharap agar gerakan masif ini harus segera dihentikan kalau tidak akan berakibat pada ” logistik cost yang luar biasa” pungkasnya
Ketua ALFI Jatim Sebastian Wibisono menambahkan, bahwa pihaknya dijatim pelabuhan Tanjung perak yang merupakan pelabuhan terbesar kedua juga membantuh dan merapatkan barisan terkait hal ini, menurutnya ini tidak relevan dimana pemerintah ingin menurunkan biaya logistik tetapi monopoli masih didorong terjadi, sehingga menjadi hal yang rancuh, kata Wibi, isu biaya logistik yang tinggi selalu kita bicarakan tetapi pemerintah tidak melihat dalam situasi seperti ini, ” kita berharap Menteri Perhubungan bisa melihat kondisi seperti ini, sebetulnya kalau melihat angka biaya logistik di negar-negara tetangga sangat rendah sekali dibandingkan dengan kita, makanya kami berharap sensitifitas Negara dalam masalah ini ke depan” ungkap Wibi panggilan akrabnya.
Selain itu kata Wibi, asosiasi tidak hanya melihat dan mengkontrol tarif-tarif di terminal operator saja, ” tapi kami juga mengawasi kegiatan- kegiatan operasional Terminal Operator ” pungkas Wibi.