SURABAYA, BERKASNEWS.COM –Penetapan Rencana Induk Pelabuhan (RIP) Tanjung Perak masih belum mengakomodir semua stakeholder, buktinya Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Surabaya memberatkan terkait posisi zona labuh kapal yang dinilai belum mewakili kepentingan dunia Maritim maupun pelayaran, sebab selain tidak mengedepankan efektifitas dan efisiensi.
“Makanya, kami dari INSA mendesak, agar OP jangan menetapkan dahulu sebelum zona labuh ini diberlakukan,” kata Stenvens H Lesawengan, ketua INSA Surabaya saat FGD sekaligus Buka Bersama dengan Anak Yatim Jumat (10/5).
RIP yang ditetapkan sebagai pedoman pengembangan kawasan pelabuhan utama Tanjung Perak utamanya soal zona labuh justru kata Stenvens,belum mengakomodir kepentingan lebih luas bahkan cenderung tidak manusiawi.
Desakan INSA kepada pemerintah, dalam hal ini Kantor Otoritas Pelabuhan (OP) Utama Tanjung Perak Surabaya itu, kata Stenvens, bukan tanpa sebab. Tapi ada Tiga hal yang mendasari INSA adalah, letak zona labuh dalam RIP, belum mengedepankan prinsip efektifitas dan efisiensi. “Zona labuh sekarang ini juga tidak berperikemanusiaan,” tandas Stenvens.
Terkait efisiensi biaya yang dinilai tidak efektif? Stenvens mengatakan, ketika kapal akan bersandar, sementara tambatannya sudah kosong, bisa dipastikan membutuhkan waktu lama. Kaitan efisiensi ini juga berlaku untuk Pandu/Pelindo III yang sudah pasti butuh bahan bakar yang tidak sedikit untuk tugboat-nya saat akan menjemput di luar Karang Jamuang.
“Kemudian ketika kapal itu sudah bersandar dan mencoba keluar karena kargonya harus menunggu antara 1 atau 2 hari, atau karena tidak bisa bersandar, terpaksa dia harus keluar sejauh 40 mill atau 2 jam perjalanan menuju zona labuh di luar Karang Jamuang. Bagaimana jika tiba-tiba dipanggil lagi untuk bersandar? Nah, disitulah letak tidak efektifnya,” jelasnya
FGD yang juga melibatkan PT APBS sekaligus buka puasa bersama (bukber) dengan memberikan santunan kepada ratusan anak yatim dari dua yayasan tersebut, Stenvens menyatakan, posisi zona labuh kapal yang tertuang dalam RIP adalah jauh di luar Karang Jamuang. Artinya, meski RIP telah ditetapkan, namun persoalan zona labuh belum selesai dan harus ditinjau kembali kemanfaatannya. “Sungguh tidak bisa dibayangkan kalau pelaut yang akan masuk Surabaya dan harus berlabuh di luar Karang Jamuang,” ujarnya.
Mengapa demikian? Menurut Stenvens, pelaut akan mengalami kesulitan apabila berniat ingin mengunjungi keluarganya saat kapal sedang berlabuh. Dari contoh kecil ini, kata Stenvens, seorang pelaut harus memaksakan diri menggunakan kapal kecil atau tug dari kayu untuk bisa ke daratan bertemu sanak keluarganya.
“Bagaimana ketika ada ombak besar? Sudah pasti akan mengancam nyawa. Maka dari itu, kami berusaha kepada pemerintah agar zona labuh ditarik ke dalam,” ingatnya.
Kata Stenvens, minimal ada di titik zona labuh yang ditentukan tidak jauh dari terminal container, jika itu bagi kapal kontainer. Sebaliknya, zona labuh juga tidak terlalu jauh terminal kapal non kontainer atau kapal penumpang saat akan sandar. “Kalau terkait besaran GT, misalkan untuk kapal dengan GT 4000 yang dianggap mengganggu alur, akan ditarik semua dan tidak akan ada di alur lagi. Tapi, saya tekankan, masalah zona labuh ini masih belum final dan menjadi keputusan, karena masih diatur,” tandas Ketua INSA Surabaya 2 periode ini
Jadi, usulan INSA terkait zona labuh ini, kata Stenvens, akan ada 3 titik yang dibangun di dalam atau tidak keluar jauh dari Karang Jamuang. Dua dari 3 zona labuh tersebut dikhususkan untuk kapal-kapal yang sedang mengalami perbaikan dan untuk kapal-kapal yang menanti berlayar.
“Khusus yang menanti lama berlayar akan dibangun fasilitas seperti cafe-cafe sehingga mereka tidak perlu lagi turun ke darat. Dengan begitu, zona labuh khusus itu bisa juga dikembangkan sebagai destinasi wisata bahari baru di perairan. Pemikiran enterpreneur Ini perlu dipikirkan APBS,” pungkasnya (Han)